ULAMA NUSANTARA MENGGUGAT NASAB PALSU (Jawaban K.H. Imaduddin Utsman Al-Bantani Terhadap Buku Hanif Alatas Dkk.)
---------------------------------
---------------------------------
BAGIAN SATU
Syekh Taqiyyudin al -Nabhani (w.1350 H.) dalam kitabnya uku itu dimulai dengan mengutip ungkapan tidak berdalil dari Riyadlul Jannah dan Al-Muhibbi dalam kitabnya Khulatsah al-Atsar yang menyatakan bahwa nasab klan Ba‘alwi adalah nasab yang paling shahih dan telah diijma‘ oleh ulama tentang kesahihannya tersebut.
Sebenarnya klaim ijma‘ yang ditulis oleh Al-Nabhani dan Al-Muhibbi itu hanya mengutip dari buku kaum Ba‘alwi sendiri yaitu buku Al-Burqat al-Musyiqat karya Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.). Jadi, Ali bin Abubakar al-Sakran sebagai orang yang pertama menyatakan nasab keluarganya tersambung kepada Nabi Muhammad SAW, dan ia juga yang mengklaim adanya ijma‘ tentang itu. Padahal, klaimnya itu tidak berdasar referensi kitab nasab apapun.
Dalam kaidah para ahli nasab, ketika kita akan meneliti suatu nasab yang mencurigakan seperti nasab Ba‘alwi, maka kita tidak boleh menggunakan hujjah dan dalil dari kitab-kitab mereka kecuali ada yang menguatkan dari referensi lainnya. Hal demikian seperti dikemukakan oleh seorang ahli nasab Abdul Majid al-Qaraja dalam :kitabnya Al-kafi al-Muntkhab -5-
Terjemah: ― Yang kelima adanya al-maslahat (kepentingan). Maka jika dari seorang yang meng-itsbat dan menafikan (nasab) jelas ada kepentingan maka biasanya pendapatnya ditinggalkan. Kadang dalam hal-hal tertentu pendapatnya dapat digunakan jika bertentangan dengan kepentingannya. Dan tidak dapat diambil pendapatnya kecuali dikuatkan oleh ulama lainnya yang tidak berkepentingan. Para ulama nasab tidak mengutip dari orang yang punya kepentingan.
Klaim bahwa Ba‘alwi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dan bahwa nasabnya telah diijma‘ pertama kali muncul secara formal dalam kitab Ba‘alwi sendiri yaitu Al-Burqat al-Musyiqat. Sebelumnya tidak ada kitab nasab yang mengatakan bahwa keluarga Abdurrahman Assegaf (Ba‘alwi) merupakan keturunan Nabi. Sesuai dengan kaidah ahli nasab di atas, bahwa pendapat tentang nasab yang keluar dari orang yang berkepentingan tidak boleh dijadikan rujukan, maka apa yang diklaim oleh Ali al-Sakran bahwa ia dan keluarganya merupakan keturunan Nabi tidak dapat diterima.
Jika Hanif Alatas Dkk. Memahami makna ijma dan rukunrukunnya menurut para ulama, maka ia tidak akan mengutip pendapat Syaikh al-Nabhani itu sebagai dalil, kenapa? Karena ungkapan itu jelas bertentangan dengan kenyataan batalnya nasab Ba‘alwi secara ilmiyah. Bagaimana nasab yang telah batal kemudian malah disebut nasab yang telah diijma‘ tentang kesahihannya?
Pertama Hanif harus memahami apa itu ijma, kemudian memahami pula apa rukun-rukun ijma‘. Nanti akan memahami bahwa jangankan disebut telah diijma‘, nasab Ba‘alwi ini bahkan sama sekali tidak patut di sebut dlaif (lemah).
Ijma menurut para ulama adalah kesepakatan para ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara‘ akan suatu kejadian. Sebagaimana definisi tersebut diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitabnya Ushul al-Fiqh:
الإتٚاع في اصطلاح الأصوليتُ: ىو اتفاق تٚيع المجتهدين من ات١سلمتُ في عصر من العصور بعد وفاة الرسول - صلى الله عليو وسلم - على حكم شرعي في واقعة.
Terjemah: ― Ijma‘ di dalam istilah para ahli ushul adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum syara‘ dalam suatu masalah.
Dari definisi ijma itu, kita mengetahui bahwa suatu hukum bisa disebut ijma jika hukum itu disepakati oleh seluruh para ulama ahli ijtihad. Sedangkan nasab Ba‘alwi ini sejak awal kemunculannya di abad sembilan muncul hanya dari klaim mereka sendiri tidak disebut para ulama nasab dalam kitab-kitab nasab. Bahkan di Tarim sendiri banyak orang yang tidak percaya terhadap nasab mereka sebagaimana dihikayatkan sendiri oleh kitab-kitab Ba‘alwi semacam Al-Burqat alMusyiqat karya Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.) dan Gurar Baha al-Dlau‟ karya Khirid (w.960 H.). Bagaimana suatu nasab yang sejak awal kemunculannya saja hanya dari klaim pribadi. dan orangorang yang ada di Tarim saja tidak mempercayainya bisa dikatakan telah diijma‘?
Salah satu rukun ijma‘ adalah kesepakatan itu harus terjadi sejak awal kemunculannya, sebagaimana dikatakan oleh Abdul Wahhab Khalaf:
الثاني: أن يتفق على اتٟكم الشرعي في الواقعة تٚيع المجتهدين من
ات١سلمتُ في وقت وقوعها
Terjemah: ― (Rukun) yang kedua adalah terjadinya kesepakatan ulama mujtahid dari kaum muslimin atas hukum syara‘ dalam suatu masalah saat terjadinya masalah itu.
Sedangkan waktu kejadian nasab Ba‘alwi adalah masa Ahmad bin Isa. karena yang menjadi permasalahan adalah pengakuan mereka bahwa mereka adalah keturunan Nabi melalui Ubaid ―bin‖ Ahmad bin Isa. sedangkan kitab-kitab nasab sejak masa Ubaid itu tidak ada yang mencatat ia sebagai anak Ahmad bin Isa apalagi terjadi ijma‘. Dari mana Ali al-sakran mengetahui adanya ijma‘ jika nasab mereka sama sekalai tidak disebutkan oleh para ahli nasab, padahal kitab-kitab nasab yang mencatat anak Ahmad bin Isa banyak ditulis. Bahkan kitab nasab abad ke-6 yaitu Al-Syajarah al-Mubarakah telah menetapkan anak Ahmad bin Isa yang berketurunan hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anak bernama Ubaid.
Ibnu Hazm dalam kitab Maratibul Ijma mengatakan: قالوا إتٚاع كل عصر إتٚاع صَحِيح إذا لم يتَ قَدَّم قبلو في تلكَ
الْمَسْألة خلاف وَىَذَا ىُوَ الصَّحِيح
Terjemah: ― Para ulama berkata: Ijma‘ setiap masa bisa dikatakan ijma‘ yang shahih jika tidak didahului oleh perbedaan pendapat dalam masalah itu. ini adalah pendapat yang sahih.
Dari situ kita mengetahui bahwa klaim ijma baik dari Ali alSakran maupun dari yang mengutipnya di waktu belakangan seperti Al-Nabhani dan Al-Muhibi tidak dapat diterima. Bahkan menurut Abdullah bin Ahmad bin Hambal bisa disebut pendusta.
وقد نقل ابن حزم في كتابو "الأحكام" عن عبد الله بن أتٛد بن حنبل قولو :تٝعتُ أبي يقول: "وما يدعي فيو الرجل الإتٚاع ىو الكذب، ومن ادعى الإتٚاع فهو كذاب، لعل الناس قد اختلفوا
- ما يدريو - ولم ينتو إليو، فليقل: لا نعلم الناس اختلفوا."
Terjemah: ― Dan telah dikutip dari Ibnu Hazm dalam kitab-nya Al-Ahkam dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ucapan: Aku mendengar ayahku berkata: Apa yang diklaim seseorang tentang terjadinya ijma‘ adalah dusta. Siapa orang yang mengklaim ijma‘ adalah dusta. Bisa jadi manusia telah berbeda pendapat ia tidak tahu dan tidak sampai kepadanya. Maka hendaklah ia berkata: kami tidak mengetahu perbedaan pendapat manusia.
Dalam prolog itu juga Hanif mengatakan: ― Jika melihat Imaduddin yang meyakini pandangannya benar secara absolut (qath'i), timbul pertanyaan sederhana: apakah puluhan sampai ratusan ulama besar Islam dari masa ke masa seperti al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafidz al-Sakhawi, al-Shan'ani, Sayid Bakri Syatha, al-Syarqawi, al-Hafidz Murtadha al-Zabidi, al-Nabhani, Syaikh Nawawi al-Bantani, dan lainnya telah secara kompak Salah Berjamaah dalam meyakini dan menyatakan ketersambungan nasab Ba'alawi sebagai dzurriyah Rasulullah Saw. dan hanya Imaduddin yang benar?
Ulama-ulama yang disebutkan itu semuanya ulama di atas abad ke-9 Hijriyah. Sedangkan yang menjadi “mahallunniza” (titik bahas) adalah sebelum abad ke-9 H. (sebelum Ba‘alwi mengaku sebagai keturunan Nabi). Sebutkan satu saja ulama nasab sebelum abad kesembilan yang menyebut misalnya Faqih Muqaddam (w.653 H.) sebagai keturunan Nabi. Tidak ada. Dan semua ulama yang disebut Hanif itu, berbicara nasab Ba‘alwi bukan dalam kitab nasab. sedangkan menurut para ahli nasab, kitab yang bisa digunakan sebagai rujukan dalam penelitian nasab haruslah kitab-kitab nasab.
Dalam Kitab Ushulu „Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain al-Ansab karya Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani dikatakan:
MENJAWAB PROLOG BUKU HANIF ALATAS DKK
Syekh Taqiyyudin al -Nabhani (w.1350 H.) dalam kitabnya uku itu dimulai dengan mengutip ungkapan tidak berdalil dari Riyadlul Jannah dan Al-Muhibbi dalam kitabnya Khulatsah al-Atsar yang menyatakan bahwa nasab klan Ba‘alwi adalah nasab yang paling shahih dan telah diijma‘ oleh ulama tentang kesahihannya tersebut.
Sebenarnya klaim ijma‘ yang ditulis oleh Al-Nabhani dan Al-Muhibbi itu hanya mengutip dari buku kaum Ba‘alwi sendiri yaitu buku Al-Burqat al-Musyiqat karya Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.). Jadi, Ali bin Abubakar al-Sakran sebagai orang yang pertama menyatakan nasab keluarganya tersambung kepada Nabi Muhammad SAW, dan ia juga yang mengklaim adanya ijma‘ tentang itu. Padahal, klaimnya itu tidak berdasar referensi kitab nasab apapun.
Dalam kaidah para ahli nasab, ketika kita akan meneliti suatu nasab yang mencurigakan seperti nasab Ba‘alwi, maka kita tidak boleh menggunakan hujjah dan dalil dari kitab-kitab mereka kecuali ada yang menguatkan dari referensi lainnya. Hal demikian seperti dikemukakan oleh seorang ahli nasab Abdul Majid al-Qaraja dalam :kitabnya Al-kafi al-Muntkhab -5-
Terjemah: ― Yang kelima adanya al-maslahat (kepentingan). Maka jika dari seorang yang meng-itsbat dan menafikan (nasab) jelas ada kepentingan maka biasanya pendapatnya ditinggalkan. Kadang dalam hal-hal tertentu pendapatnya dapat digunakan jika bertentangan dengan kepentingannya. Dan tidak dapat diambil pendapatnya kecuali dikuatkan oleh ulama lainnya yang tidak berkepentingan. Para ulama nasab tidak mengutip dari orang yang punya kepentingan.
Klaim bahwa Ba‘alwi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dan bahwa nasabnya telah diijma‘ pertama kali muncul secara formal dalam kitab Ba‘alwi sendiri yaitu Al-Burqat al-Musyiqat. Sebelumnya tidak ada kitab nasab yang mengatakan bahwa keluarga Abdurrahman Assegaf (Ba‘alwi) merupakan keturunan Nabi. Sesuai dengan kaidah ahli nasab di atas, bahwa pendapat tentang nasab yang keluar dari orang yang berkepentingan tidak boleh dijadikan rujukan, maka apa yang diklaim oleh Ali al-Sakran bahwa ia dan keluarganya merupakan keturunan Nabi tidak dapat diterima.
Jika Hanif Alatas Dkk. Memahami makna ijma dan rukunrukunnya menurut para ulama, maka ia tidak akan mengutip pendapat Syaikh al-Nabhani itu sebagai dalil, kenapa? Karena ungkapan itu jelas bertentangan dengan kenyataan batalnya nasab Ba‘alwi secara ilmiyah. Bagaimana nasab yang telah batal kemudian malah disebut nasab yang telah diijma‘ tentang kesahihannya?
Pertama Hanif harus memahami apa itu ijma, kemudian memahami pula apa rukun-rukun ijma‘. Nanti akan memahami bahwa jangankan disebut telah diijma‘, nasab Ba‘alwi ini bahkan sama sekali tidak patut di sebut dlaif (lemah).
Ijma menurut para ulama adalah kesepakatan para ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara‘ akan suatu kejadian. Sebagaimana definisi tersebut diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitabnya Ushul al-Fiqh:
الإتٚاع في اصطلاح الأصوليتُ: ىو اتفاق تٚيع المجتهدين من ات١سلمتُ في عصر من العصور بعد وفاة الرسول - صلى الله عليو وسلم - على حكم شرعي في واقعة.
Terjemah: ― Ijma‘ di dalam istilah para ahli ushul adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum syara‘ dalam suatu masalah.
Dari definisi ijma itu, kita mengetahui bahwa suatu hukum bisa disebut ijma jika hukum itu disepakati oleh seluruh para ulama ahli ijtihad. Sedangkan nasab Ba‘alwi ini sejak awal kemunculannya di abad sembilan muncul hanya dari klaim mereka sendiri tidak disebut para ulama nasab dalam kitab-kitab nasab. Bahkan di Tarim sendiri banyak orang yang tidak percaya terhadap nasab mereka sebagaimana dihikayatkan sendiri oleh kitab-kitab Ba‘alwi semacam Al-Burqat alMusyiqat karya Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.) dan Gurar Baha al-Dlau‟ karya Khirid (w.960 H.). Bagaimana suatu nasab yang sejak awal kemunculannya saja hanya dari klaim pribadi. dan orangorang yang ada di Tarim saja tidak mempercayainya bisa dikatakan telah diijma‘?
Salah satu rukun ijma‘ adalah kesepakatan itu harus terjadi sejak awal kemunculannya, sebagaimana dikatakan oleh Abdul Wahhab Khalaf:
الثاني: أن يتفق على اتٟكم الشرعي في الواقعة تٚيع المجتهدين من
ات١سلمتُ في وقت وقوعها
Terjemah: ― (Rukun) yang kedua adalah terjadinya kesepakatan ulama mujtahid dari kaum muslimin atas hukum syara‘ dalam suatu masalah saat terjadinya masalah itu.
Sedangkan waktu kejadian nasab Ba‘alwi adalah masa Ahmad bin Isa. karena yang menjadi permasalahan adalah pengakuan mereka bahwa mereka adalah keturunan Nabi melalui Ubaid ―bin‖ Ahmad bin Isa. sedangkan kitab-kitab nasab sejak masa Ubaid itu tidak ada yang mencatat ia sebagai anak Ahmad bin Isa apalagi terjadi ijma‘. Dari mana Ali al-sakran mengetahui adanya ijma‘ jika nasab mereka sama sekalai tidak disebutkan oleh para ahli nasab, padahal kitab-kitab nasab yang mencatat anak Ahmad bin Isa banyak ditulis. Bahkan kitab nasab abad ke-6 yaitu Al-Syajarah al-Mubarakah telah menetapkan anak Ahmad bin Isa yang berketurunan hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anak bernama Ubaid.
Ibnu Hazm dalam kitab Maratibul Ijma mengatakan: قالوا إتٚاع كل عصر إتٚاع صَحِيح إذا لم يتَ قَدَّم قبلو في تلكَ
الْمَسْألة خلاف وَىَذَا ىُوَ الصَّحِيح
Terjemah: ― Para ulama berkata: Ijma‘ setiap masa bisa dikatakan ijma‘ yang shahih jika tidak didahului oleh perbedaan pendapat dalam masalah itu. ini adalah pendapat yang sahih.
Dari situ kita mengetahui bahwa klaim ijma baik dari Ali alSakran maupun dari yang mengutipnya di waktu belakangan seperti Al-Nabhani dan Al-Muhibi tidak dapat diterima. Bahkan menurut Abdullah bin Ahmad bin Hambal bisa disebut pendusta.
وقد نقل ابن حزم في كتابو "الأحكام" عن عبد الله بن أتٛد بن حنبل قولو :تٝعتُ أبي يقول: "وما يدعي فيو الرجل الإتٚاع ىو الكذب، ومن ادعى الإتٚاع فهو كذاب، لعل الناس قد اختلفوا
- ما يدريو - ولم ينتو إليو، فليقل: لا نعلم الناس اختلفوا."
Terjemah: ― Dan telah dikutip dari Ibnu Hazm dalam kitab-nya Al-Ahkam dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ucapan: Aku mendengar ayahku berkata: Apa yang diklaim seseorang tentang terjadinya ijma‘ adalah dusta. Siapa orang yang mengklaim ijma‘ adalah dusta. Bisa jadi manusia telah berbeda pendapat ia tidak tahu dan tidak sampai kepadanya. Maka hendaklah ia berkata: kami tidak mengetahu perbedaan pendapat manusia.
Dalam prolog itu juga Hanif mengatakan: ― Jika melihat Imaduddin yang meyakini pandangannya benar secara absolut (qath'i), timbul pertanyaan sederhana: apakah puluhan sampai ratusan ulama besar Islam dari masa ke masa seperti al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafidz al-Sakhawi, al-Shan'ani, Sayid Bakri Syatha, al-Syarqawi, al-Hafidz Murtadha al-Zabidi, al-Nabhani, Syaikh Nawawi al-Bantani, dan lainnya telah secara kompak Salah Berjamaah dalam meyakini dan menyatakan ketersambungan nasab Ba'alawi sebagai dzurriyah Rasulullah Saw. dan hanya Imaduddin yang benar?
Ulama-ulama yang disebutkan itu semuanya ulama di atas abad ke-9 Hijriyah. Sedangkan yang menjadi “mahallunniza” (titik bahas) adalah sebelum abad ke-9 H. (sebelum Ba‘alwi mengaku sebagai keturunan Nabi). Sebutkan satu saja ulama nasab sebelum abad kesembilan yang menyebut misalnya Faqih Muqaddam (w.653 H.) sebagai keturunan Nabi. Tidak ada. Dan semua ulama yang disebut Hanif itu, berbicara nasab Ba‘alwi bukan dalam kitab nasab. sedangkan menurut para ahli nasab, kitab yang bisa digunakan sebagai rujukan dalam penelitian nasab haruslah kitab-kitab nasab.
Dalam Kitab Ushulu „Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain al-Ansab karya Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani dikatakan:
وعندما ت٨قق النسب فان ات١صادر التى يدكن ان نستقي منها النسب يجب ان تكون من كتب الانساب القديدة التي كتبت فيما قبل العصر اتٟديث حيث كان الناس اقرب الى معرفة اصوت٢م
Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang memungkinkan kita mengambil darinya, wajib berupa kitabkitab nasab terdahulu yang ditulis sebelum masa modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan mereka.
Ia juga mengatakan: و لا يدكننا اتٟديث عن النسب القدنً بناءاً على ما ورد في الكتب اتٟديثة ات١ستندة إلى كلام غتَ منطقى أو على الذاكرة الشعبية
فقط
― Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja.
Dalam Kitab “Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab” karya Dr. Imad Muhammad al-‗Atiqi dikatakan:
ويختلف ات١رجع عن ات١صدر في ان ات١صدر اقرب زمان ومكان وبيئة الاحداث التي يرويها اما ات١رجع فهو ت٥تلف عن ات١صدر في بعض او كل العناصر السابقة فيحتاج مؤلف ات١رجع الى مصادر ومواد اولية اخرى لات٧از تْثو ويتًتب على ذلك ان ات١صدر يكون اجدر بالاعتبار في حالة التعارض مع ات١رجع مالم يحتو ات١رجع على تٖليل دقيق يفند اوجو التعارض من خلال مصادر او مواد اولية اخرى
― Marji‟ (Referensi) berbeda dengan mashdar (sumber), yaitu bahwa mashdar lebih dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya. Adapun marji‟ berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur sebelumnya. Maka penulis marji‟ membutuhkan mashdar dan sumber lain yang primer untuk melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik dihitung apabila terjadi pertentangan dengan marji‟, kecuali jika marji‟ tersebut memuat analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau bahan-bahan primer lainnya.10
Hanif dkk. Juga perlu memahami kaidah-kaidah ilmu nasab. tidak setiap ada ulama mencatat nasab itu bisa dijadikan dalil itsbat nasab walau ia ulama besar. Dan tidak semua catatan ansab itu bisa untuk menjadi hujjah kesahihan nasab. ia harus dilihat apakah kitab itu kitab nasab atau bukan; semasa atau tidak dengan individu yang sedang diteliti, atau paling tidak kitab itu yang paling dekat masanya dari kitab yang dapat ditemukan. Kalau ia kitab nasab harus dilihat pula informasi itu bertentangan tidak dengan kitab nasab sebelumnya. Jadi tidak, semua informasi dalam sebuah kitab dapat begitu saja dijadikan dalil. Pakar nasab Syekh Khalil bin Ibrahim dalam kitab Muqaddimat fi „Ilm al-Ansab mengatakan:
10 Imad Muhammad al-Atiqi, Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab h. 58.
Terjemah: ― Tidak semua orang yang menulis nasab itu bisa dijadikan hujjah. Dan tidak semua yang ditulis sah untuk dijadikan hujjah.
Dengan demikian, karena ketiadaan kitab nasab yang menetapkan nasab Ba‘alwi sebelum abad ke-9 H. maka pengakuan nasab Ba‘alwi di abad sembilan itu batal. Kenapa? karena ketika mereka mengaku bahwa mereka merupakan keturunan Nabi melalui ubaid ―bin‖ Ahmad bin Isa, ternyata kitab nasab sebelum abad ke-9 tidak ada yang mencatat Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa. kitab nasab sebelum abad ke-9 mencatat anak Ahmad bin Isa yang berketurunan hanya tiga yaitu: Muhammad, Ali dan Husain.
Pakar nasab Syekh Khalil bin Ibrahim dalam kitab Muqaddimat fi ‗Ilm al-Ansab mengatakan:
Terjemah: ― Kaidah nasab yang ke-42 adalah: Dan ketahuilah bahwa informasi jika bertentangan dengan logika dan referensi dan bertentangan dengan ushul maka ia informasi palsu yakni maudlu‘. Informasi yang palsu dan maudlu‘ tidak dapat dijadikan sebgai hujjah.
Dari situ klaim Ba‘alwi di abad ke-9 bahwa Ubaid adalah anak Ahmad, kontradiksi dengan kitab-kitab nasab sebelum abad ke-9.
Sedangkan menurut ahli nasab: sebuah kitab nasab dapat diterima jika ia tidak bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya, apalagi jika ia hanya kitab tasawuf semacam kitab Ali al-Sakran dan yang mengutip darinya. Sekalipun ulama itu dikenal luas dalam dunia islam sebagai ulama besar dalam ilmu fiqih maupun hadits, tetapi ketika ia mengutip silsilah nasab yang bertentangan dengan kitab-kitab nasab sebelumnya, maka kutipannya itu tertolak tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Pakar nasab Syekh Kholil bin Ibrahim mengatakan:
Terjemah: ― Dan seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak menganggap suci teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain kalam Allah dan hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan didalami; ia bisa salah dan benar.
Dari situ sebuah diskursus nasab tidak boleh hanya berdalil: Ibnu hajar telah berkata; Syekh Nawawi telah berkata dst. Tetapi harus dilihat ucapan mereka bertentangan atau tidak dengan kitab nasab sebelumnya. Jika bertentangan dengan kebenaran, maka ucapan itu bisa ditolak. Kecuali jika kita menganggap bahwa ulama itu pasti benar dan tidak mungkin salah. Dan itu bukan ajaran Islam.
Kesimpulan dari bahasan ini, bahwa prolog Hanif dkk. Itu adalah sebauah prolog yang kering dari pengetahuan tentang kaidah ilmu nasab. hanya bisa mengutip ucapan ulama tetapi tidak mampu menganalisa dengan baik sesuai apa yang ditetapkan ahli nasab. batalnya nasab Ba‘alwi adalah sebuah pengetahuan yang terang benderang seterang matahari di siang hari bagi kaum yang mau berfikir.
Buku ini, insya Allah, akan mengurai berbagai macam upaya, framing, bahkan skandal ilmiyah yang dilakukan para penulis buku Keabsahan Nasab Ba‘alwi untuk mempertahankan nasab Ba‘alwi. Para pembaca akan mengetahui dari buku ini bagaimana upaya-upaya mereka sama sekali tidak berfaidah untuk menolong batalnya nasab Ba‘alwi. Ba‘alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW. Wallahu muwaffiqun ila aqwami thariqin .....
Imaduddin Utsman Al-Bantani
Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang memungkinkan kita mengambil darinya, wajib berupa kitabkitab nasab terdahulu yang ditulis sebelum masa modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan mereka.
Ia juga mengatakan: و لا يدكننا اتٟديث عن النسب القدنً بناءاً على ما ورد في الكتب اتٟديثة ات١ستندة إلى كلام غتَ منطقى أو على الذاكرة الشعبية
فقط
― Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja.
Dalam Kitab “Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab” karya Dr. Imad Muhammad al-‗Atiqi dikatakan:
ويختلف ات١رجع عن ات١صدر في ان ات١صدر اقرب زمان ومكان وبيئة الاحداث التي يرويها اما ات١رجع فهو ت٥تلف عن ات١صدر في بعض او كل العناصر السابقة فيحتاج مؤلف ات١رجع الى مصادر ومواد اولية اخرى لات٧از تْثو ويتًتب على ذلك ان ات١صدر يكون اجدر بالاعتبار في حالة التعارض مع ات١رجع مالم يحتو ات١رجع على تٖليل دقيق يفند اوجو التعارض من خلال مصادر او مواد اولية اخرى
― Marji‟ (Referensi) berbeda dengan mashdar (sumber), yaitu bahwa mashdar lebih dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya. Adapun marji‟ berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur sebelumnya. Maka penulis marji‟ membutuhkan mashdar dan sumber lain yang primer untuk melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik dihitung apabila terjadi pertentangan dengan marji‟, kecuali jika marji‟ tersebut memuat analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau bahan-bahan primer lainnya.10
Hanif dkk. Juga perlu memahami kaidah-kaidah ilmu nasab. tidak setiap ada ulama mencatat nasab itu bisa dijadikan dalil itsbat nasab walau ia ulama besar. Dan tidak semua catatan ansab itu bisa untuk menjadi hujjah kesahihan nasab. ia harus dilihat apakah kitab itu kitab nasab atau bukan; semasa atau tidak dengan individu yang sedang diteliti, atau paling tidak kitab itu yang paling dekat masanya dari kitab yang dapat ditemukan. Kalau ia kitab nasab harus dilihat pula informasi itu bertentangan tidak dengan kitab nasab sebelumnya. Jadi tidak, semua informasi dalam sebuah kitab dapat begitu saja dijadikan dalil. Pakar nasab Syekh Khalil bin Ibrahim dalam kitab Muqaddimat fi „Ilm al-Ansab mengatakan:
10 Imad Muhammad al-Atiqi, Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab h. 58.
Terjemah: ― Tidak semua orang yang menulis nasab itu bisa dijadikan hujjah. Dan tidak semua yang ditulis sah untuk dijadikan hujjah.
Dengan demikian, karena ketiadaan kitab nasab yang menetapkan nasab Ba‘alwi sebelum abad ke-9 H. maka pengakuan nasab Ba‘alwi di abad sembilan itu batal. Kenapa? karena ketika mereka mengaku bahwa mereka merupakan keturunan Nabi melalui ubaid ―bin‖ Ahmad bin Isa, ternyata kitab nasab sebelum abad ke-9 tidak ada yang mencatat Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa. kitab nasab sebelum abad ke-9 mencatat anak Ahmad bin Isa yang berketurunan hanya tiga yaitu: Muhammad, Ali dan Husain.
Pakar nasab Syekh Khalil bin Ibrahim dalam kitab Muqaddimat fi ‗Ilm al-Ansab mengatakan:
24- وأعلم أن ات٠بر إذا كان يباين ات١عقول ويخالف ات١نقول ويناقض الأصول فهو منحول أي موضوع، وات١نحول وات١وضوع لا يحتج بها.
Terjemah: ― Kaidah nasab yang ke-42 adalah: Dan ketahuilah bahwa informasi jika bertentangan dengan logika dan referensi dan bertentangan dengan ushul maka ia informasi palsu yakni maudlu‘. Informasi yang palsu dan maudlu‘ tidak dapat dijadikan sebgai hujjah.
Dari situ klaim Ba‘alwi di abad ke-9 bahwa Ubaid adalah anak Ahmad, kontradiksi dengan kitab-kitab nasab sebelum abad ke-9.
Sedangkan menurut ahli nasab: sebuah kitab nasab dapat diterima jika ia tidak bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya, apalagi jika ia hanya kitab tasawuf semacam kitab Ali al-Sakran dan yang mengutip darinya. Sekalipun ulama itu dikenal luas dalam dunia islam sebagai ulama besar dalam ilmu fiqih maupun hadits, tetapi ketika ia mengutip silsilah nasab yang bertentangan dengan kitab-kitab nasab sebelumnya, maka kutipannya itu tertolak tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Pakar nasab Syekh Kholil bin Ibrahim mengatakan:
وينبغي على باحث الأنساب أن لا يقدس النصوص، فكل نص عدا كلام الله وحديث رسولو صلى الله عليو والو، فهو يخضع
للتحقيق والتدقيق وىو معرض للخطأ والصواب
Terjemah: ― Dan seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak menganggap suci teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain kalam Allah dan hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan didalami; ia bisa salah dan benar.
Dari situ sebuah diskursus nasab tidak boleh hanya berdalil: Ibnu hajar telah berkata; Syekh Nawawi telah berkata dst. Tetapi harus dilihat ucapan mereka bertentangan atau tidak dengan kitab nasab sebelumnya. Jika bertentangan dengan kebenaran, maka ucapan itu bisa ditolak. Kecuali jika kita menganggap bahwa ulama itu pasti benar dan tidak mungkin salah. Dan itu bukan ajaran Islam.
Kesimpulan dari bahasan ini, bahwa prolog Hanif dkk. Itu adalah sebauah prolog yang kering dari pengetahuan tentang kaidah ilmu nasab. hanya bisa mengutip ucapan ulama tetapi tidak mampu menganalisa dengan baik sesuai apa yang ditetapkan ahli nasab. batalnya nasab Ba‘alwi adalah sebuah pengetahuan yang terang benderang seterang matahari di siang hari bagi kaum yang mau berfikir.
Buku ini, insya Allah, akan mengurai berbagai macam upaya, framing, bahkan skandal ilmiyah yang dilakukan para penulis buku Keabsahan Nasab Ba‘alwi untuk mempertahankan nasab Ba‘alwi. Para pembaca akan mengetahui dari buku ini bagaimana upaya-upaya mereka sama sekali tidak berfaidah untuk menolong batalnya nasab Ba‘alwi. Ba‘alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW. Wallahu muwaffiqun ila aqwami thariqin .....
Imaduddin Utsman Al-Bantani
.jpg)
This post have 0 comments
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...
EmoticonEmoticon